“Nulis”...enggak tahu kenapa ada hal
menarik dibalik kata kerja itu yang bikin gue betah berjam-jam dengan pena
tergenggam erat di tangan, betah berlama-lama di depan monitor laptop meskipun
bercangkir-cangkir kopi sudah lenyap, kedua mata gue pun seolah sudah paham
dengan aktivitas gue yang satu ini mereka tidak pernah mengeluh kelelahan meski
sudah terlihat merah dan otot-ototnya semakin jelas seperti akar tunggang. Entah
berapa lembar yang sudah berantakan mengisi file hardisk di laptop yang setiap
hari tak pernah gue bosan membacanya berulang-ulang.
“Nulis”...itu juga yang mungkin gue
jomblo setahun lebih terakhir ini. Disaat temen-temen lain sibuk dan antusias
menceritakan kisah asmaranya telinga gue lah yang menjadi pendengar setia. Disaat
mereka menghabiskan hari-hari yang menurut mereka begitu indah dengan
pasanganya gue masih belum beranjak dari duduk dan menatap kotak hitam yang
menyala di depan mata sembari menari-narikan jari-jemari gue perlahan. Disaat jemari mereka asyik membalas pesan dari pujaan
hatinya atau juga telinga mereka saling mendengar kata cinta satu sama lain gue
tetap nyaman dengan secangkir kopi yang menemani dengan mug bergambar as roma
favorit gue. Hati memang butuh cinta sebagai nutrisinya. Tapi gue sudah
menemukan cinta yang pas untuk hati gue. Dan hati gue memilih berlama-lama di
depan laptop kesayangan dan menulikan setiap ceritanya. Itu yang gue sebut
cinta dan kekasih gue nggak Cuma satu tapi banyak mereka adalah laptop, pena,
note, secangkir kopi, dan semuai itu selalu ada disaat gue butuhin mereka tanpa
terkecuali.
“Nulis”...pernah juga dia bikin gue
sakit hati bahkan putus asa akut yang bikin gue mengumpat sebal dan bersumpah
nggak akan neglakuin aktivitas ini lagi. Ketika naskah gue berpuluh kali
ditolak penerbit saat itu juga nulis terasa membosankan. Perlahan gue mulai
memahami ketika suatu malam gue membaca blog seorang penulis terkenal yang
sekarang menjadi inspirasi gue yaitu bang “Alitt Susanto”. Dia bilang”menulis
akan indah jika orientasi kita prestasi bukan royalti”. Dari situ gue mulai
menghargai bahwa setiap lembar yang guee hasilkan tak akan pernah ada terharga
oleh uang ataupun materi lainya. Karena menulis adalah bahasa gue menulis
adalah mulut gue, menulis adalah pacar gue yang paling setia. Dan mungkin gue
sudah terlanjur cinta mati sama yang namanya nulis dan gue janji nggak bakal
selingkuh ke lain hati, nggak bakal ninggahlin dia dan akan selalu bersamanya. Apapun
alasanya. “Keep calm and still Writing”.:-)
menulis memang akan lebih baik jika tidak memikirkan materi
ReplyDeletemas rofiq, gmna caranya utk bisa di terima penerbit... ?
ReplyDelete