Siang-siang
gini bulan puasa saya masih terjebak di kasur dan sedikitpun nggak ada niatan
buat beranjak dari belaian bantal dan guling. Hal yang masih terasa nikmat
ketika siang bolong di bulan puasa gini adalah ngupil sambil ngelihatin
timeline mantan di facebook, tapi itu nggak bertahan lama karena baru sebentar
buka profilnya udah dengan jelas terpampang relathionship with……., terpaksa
karus tarik nafas sebentar dengan jari telunjuk masih asyik nyangkut dilubang
hidung. untuk mengusir kegalauan itu terpikir buat nulis tentang perjalanan
aneh the dzikr band, nggak pernah denger nama band itu ya?...yah…sayang padahal
saya gitarisnya#narsis dikit#. Ya tanpa pernah saya sadari ada sebuah bakat
terpendam dalam diri saya selain ngupil yaitu bermain music. Semua itu berawal
ketika smp saya dibelikan gitar oleh om saya tercinta, dan tanpa
disangka-sangka ketika pertama ngelihat gitar, chemistry kita berdua langsung
nyambung, aku lihatin dia, aku mulai senyum-senyum sendiri ngelihatin bodynya,
aku deketin dia, aku pegang stangnya, aku peluk tabungnya dan akhirnya kita
jadian. Semudah dan segampang itu saya mahir maen gitar. Tiada hari tanpa maen
gitar itu slogan saya semenjak kehadiran gitar bersejarah yang saya beri nama
paijo, semakin hari semakin mahir pula jari-jari memainkannya, memetik, bahkan
membantingnya. Kemana-mana pun paijo sering saya ajak, terkadang temen yang
nggak tahu pasti ngira saya adalah homo karena tiap mereka tanya”lagi sama
siapa?”dengan pede saa jawab”saya lagi berduaan sama paijo”.
Bakat
bermusik saya semakin terasah ketika SMA. Dengan cekatan guru seni music disekolah
saya mencium dan mengendus ada bakat terpendam yang saya miliki. Kejadianya waktu
itu adalah ketika jam pelajaran seni musik.”anak-anak siapa yang bisa maen music?”.salah
satu dari temen saya langsung maju dengan pedenya, namanya Rizki. Dia mendekat
sama keyboard yang sudah tersetel rapi di depan kelas. Gayanya sungguh sangat
meyakinkan layaknya Erwin gutawa. Benar saja, dia memainkan piano dengan aliran
jazz, jari-jarinya terlihat sangat keriting. Sama sekali tak terlihat raut muka
puas dari wajah guru seni music saya yaitu pak Syukur padahal Rizki begitu
mahir memainkan keyboardnya.”ada lagi?”.saya memberanikan diri maju ke depan
kelas. Dan dengan cekatan mengambil gitar dengan gaya sok cool mencoba sedikit
mengutak-atik menyetem gitar.”jrangg…..jrengg….jrangg…jrengg, oke request lagu
apa”lagaknya udah kaya andra dewa.”roma irama, darah muda”pak syukur spontan
nyahut dengan request lagunya bang haji. Hal ini bukan kesulitan buat saya
karena om saya selalu member tutorial bermusi dangdut gratis tiap hari, lo
minta lagu judi? Ane jabanin.”jreng..jreng…darah muda”. Pak masykur bejoget ria
didepan kelas sambil menyanyikan dengan suara mirip bang haji, anak-anak tak
mau kalah ikut bergoyang, suasana kelas siang itu mendadak seperti kedatangan
orkes keliling mendadak. Kejadian itu pula yang nganterin saya masuk band
sekolah bersama 4 orang lain untuk mewakili sekolah pada festival music antar
SMA se-kabupaten, dan semenjak saat itu pula saya merasa seperti menjadi anak
angkat dari pak syukur, tiap hari dibebasin keluar masuk studio music sekolah
bahkan kuncinyapun dikasih ke saya.
0 comments:
Post a Comment